UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH : TEORI-TEORI PUBLIC
RELATIONS
Dosen
Pembimbing : Rachmat Kriyantono, Ph.D
NAMA :
Muhamad Reva Abrian Saputra
NIM :
165120200111041
JURUSAN : Ilmu Komunikasi
KELAS :
A.KOM.4
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2018
1. Studi
Kasus : Badrun,
mhs kom UB, sedang kerja magang di Hotel Savanah (HS) Malang. Badrun mendapat
tugas dari Manajer PR HS untuk melakukan monitoring terhadap pemberitaan surat
kabar. Badrun diminta melakukan: (a) klipping opini pembaca yang dimuat di
surat kabar tentang HS; (b) analisis berita-berita surat kabar di rubrik
seputar Malang, untuk mengetahui tema-tema beritanya. Mendapat tugas itu,
Badrun bertanya-tanya dalam hati: “Untuk apa saya melakukan klipping? Untuk apa
tema-tema pemberitaan selama 3 bulan harus saya pantau?”
Tugas
Mahasiswa : “Bantulah si Badrun untuk menjawab pertanyaannya. Gunakan landasan
teoritis untuk argument anda”
Pembahasan
: Untuk menjawab study kasus nomor 1, dapat saya pahami bahwa perlunya manager
public relation mengetahui berbagai tema berita dan opini pembaca di media
massa ditujukan untuk mengukur bagaimana opini dan pendapat publik terutama
dalam kasus tersebut terhadap hotel savvana, apakah positif, negatif, atau
netral, atau bagimana opini pembaca atau tema pemberitaan tersebut muncul dapat
berakibat pada operational organisasi, dan bagaimana kebijakan yang perlu
diambil atas kondisi lingkungan sekitar yang dalam hal ini diukur melalui opini
pembaca dan berbagai tema pemberitaan yang terjadi. Jika kita analisis melalui Teori
Boundary Spanning, Kriyantono (2014,
hal : 86) menjelaskan dalam interaksi antara organisasi dan lingkungannya,
public relations mempunyai fungsi sebagai penghubung antara organisasi dan
lingkungannya yang mana fungsi ini dikenal dengan istilah "boundary spanning". Melalui fungsi
ini, public relations berinteraksi dengan lingkungannya melalui proses monitoring, seleksi, dan menghimpun
informasi yang mana informasi tersebut kemudian disampaikan kepada kelompok
dominan dalam organisasi (Kriyantono, 2014 : 86). Karena itu, dapat dikatakan
fungsi boundary spanning ini sebagai
aktivitas penjaga gerbang (gatekeeper).
Dalam konteks ini, melalui kliping opini pembaca di surat kabar, dan tema
pemberitaan di media massa adalah cara public relations sebagai gatekeeper menghimpun informasi untuk
disampaikan kepada kelompok dominant. Lalu mengapa perlu untuk disediakan dan
disampaikan informasi kepada kelompok dominant? Menurut White& Dozier(2008:
93) dalam Kriyantono (2014, hal:87), kelompok dominan adalah kumpulan
orang-orang (para manajer senior) yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan
mengontrol operasional organisasi dan sebagai dasar pengambilan yang didasarkan
pada realitas yang terjadi di lingkungan, yang bersumber dari informasi-informasi
mengenai opini pembaca dan pemberitaan yang ada di media massa. Dalam proses
tersebut kelompok dominan membutuhkan input informasi tentang situasi
lingkungan, dan informasi tersebut disediakan oleh public relations. Monitoring
lingkungan dilakukan dalam rangka mengetahui apa yang terjadi di lingkungan
sekitar dan mengintrepetasi isu-isu yang berpotensi mempengaruhi aktivitas
organisasi atau berpotensi menjadi masalah bagi aktivitas organisasi. Public
Relations diharapkan dalam secara aktif melakukan upaya monitoring lingkungan sekitar tersebut karena hal tersebut
dilakukan dalam upaya pencegahan dini untuk meminimalkan atau menghindari isu/masalah.
Public relations dapat mengetahui isu yang didasarkan pada opini public atau
pemberitaan dari surat kabar sebagai sumber informasi yang berpotensi
memengaruhi aktivitas organisas dan memberikan rekomendasi kepada kelompok
dominan tentang strategi mengolah isu agar tidak berkembang menjadi krisis.
Inilah implikasi dari kegiatan pengumpulan informasi tersebut yakni apa yang
disebut dengan manajemen isu. Upaya pengumpulan informasi tersebut dapat
membantu operasional manajemen dalam merespon isu-isu tersebut melalui
aktivitas isu manajemen dimana dalam hal ini praktisi public relations bertinak
sebagai mitra manajemen untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang
mungkin muncul. Selain
mengukur bagaimana suasana lingkungan sekitar melalui tema pemberitaan dan
opini public, pengumpulan informasi tersebut jika kita merujuk pada teori boundary spanning, Kriyantono (2014,
hal:88) menjelaskan aktivitas boundary spanning ditujukan untuk membangun
sistem komunikasi dua arah dengan publicnya agar organisasi tersebut dapat
beradaptasi dengan lingkungannya. Kembali lagi ke konsep sebelumnya, bahwa
informasi yang dikumpulkan sebagai dasar rujukan atas kontrol operasional
termasuk kebijakan, kebijakan yang dimangsung disini adalah kebijakan
komunikasi dimana dalam hal ini, praktisi public relation sebagai fasilitator
komunikasi, tentang strategi komunikasi atau informasi apa saja yang hendak
dikirimkan kepada public berkenaan dengan informasi apa yang telah dikumpulkan
sebelumnya. 2. Studi Kasus : Seorang wartawan melakukan wawancara dengan humas UB tentang terjadinya suatu kebijakan. UB membuat kebijakan baru, yaitu melarang mahasiswa merokok di areal kampus UB. Saat ditanya wartawan, humas UB menjawab: “Saya belum bisa memberikan jawaban sekarang.. Sy mesti meminta izin dulu ke pimpinan”.
Tugas Mahasiwa :
·
“efektifkah
jawaban humas itu dalam konteks publisitas media? Mengapa?”
·
“Berfungsikah
humas itu? Berikan penjelasan teoritis”
Pembahasan
: Untuk menyelesaikan study kasus nomor 2, saya akan menjabarkannya melalui
melalui beberapa teori. Jika kita kaitkan dengan teori boundary spanning, jawaban tersebut cekup efektif. Mengapa? Berdasarkan
teori boundarry spanning, Kriyantono
(2014, hal:86) menjelaskan dalam interaksi antara organisasi dan lingkungannya,
Public Relations mempunya fungsi sebagai penghubungan antara organisasi dan
lingkungannya, fungsi inilah yang disebut dengan boundary spanning. Melalui fungsi ini, Public Relations
berinteraksi dengan lingkungannya dengan melalukan monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Menurut Grunig &
Hunt (1984:9) dalam Kriyantono (2014, hal:87), Public Relations sebagai
"perantara, satu kaki public relations berada di pihak organisasi, satu
kaki lainnya berada di pihak public." Inilah yang menyebabkan public relations
disebut sebagai orang yang bekerja di "perbatasan atau sebagai elemen
perbatasan”. Dapat dikatakan dalam fungsi
boundary spanning ini public relation bekerja sebagai aktivitas “penjaga
gerbang” atau gatekeeper. Dalam
kaitannya dengan pekerjaan public relations yang bekerja di perbatasan, dimana
satu kaki berada di public dan kaki lainnya berada di pihak organisasi, dapat
saya pahami public relations bertugas dalam menyeleksi informasi yang masuk dan
informasi yang akan keluar. Public relations mesti memahami kebijakan manajemen
dan dapat menjelaskan dengan baik kepada publiknya, mana-mana saja informasi
yang bisa dibawa keluar dan mana saja informasi yang tidak boleh dibawa keluar.
Hal tersebut diperkuat oleh statement Kriyantono (2014, h: 88) yakni dengan
mempunya akses langsung ke manajemen puncak, memungkinkan praktisi public
relations memahami apa yang ada di pikiran manajemen dan alasan di balik
pengambilan kebijakan oleh manajemen. Dimana hal tersebut didukung dimana untuk
dapat melaksanakan aktivias boundary
spanning, praktisi public relations mesti menjadi bagian dari “dominant-coalition” dimana public
relations perlu mempunya jalur komando langsung kemanajemen puncak (CEO).
Terlebih dalam kontens kasus tersebut, statement yang diberika juga dengan
bahasa yang baik yait “saya belum dapat menjawab sekarang, saya harus meminta
ijin dulu ke pimpinan” dimana kalimat tersebut bukan terkesan bahwa public
relations tersebut secara serta-merta tidak mau memberikan konfirmasi mengenai
problem tersebut. tentunya tindakan yang harus dilakukan selanjutnya adalah
memberika konfirmasi secepatnya melalui hal tersebut, baik melalui press release, atau press conference, dan yang lain.
Alasan
yang lain mengapa hal tersebut efektif adalah, jika dikaitkan dengan teori sistem
yang cukup berkorelasi dengan teori boundary
spanning, Menurut Littlejohn dan Foss (2011, hal:50), “ Systems are sets
of interacting components that together
form something more than the sum of the parts. ” Pernyataan tersebut
merupakan gagasan utama dari teori
sistem yang menggambarkan bahwa sebuah sistem dibentuk oleh berbagai komponen yang saling berinteraksi.
Menurut Kreps (dikutip di Kriyantono, 2014,
hal:79) “interaksi antarbagian dalam organisasi dilakukan untuk
beradaptasi dengan lingkungannya”. Definisi
ini berangkat dari asumsi organisasi adalah suatu sistem yang saling
berhubungan dengan sistem lainnya di luar dirinya. Kriyantono (2014, hal:81) menjelaskan bahwa teori
sistem menganggap bahwa aktivitas organisasi mengakibatkan konsekuensi (dampak bagi
publiknya) termasuk juga aktifitas komunikasi. Sebaliknya, tindakan publik sebagai respons terhadap
aktivitas organisasi juga menimbulkan konsekuensi tertentu bagi organisasi.
Konsekuensi ini disebut sebagai "resiprocalconsequences", yaitu
munculnya masalah saat berhubungan dengan public(Grunig& Hunt,
1984: 10). Maka dapat saya pahami
bahwa setiap aktivitas organisasi dalam konteks ini aktivitas komunikasi akan
berdampak terutama kepada public, dan jika satu sub-sistem tersebut mengalami
masalah, dalam hal ini sub-sistem public relations melalui statement nya yang
tanpa perlu pertimbangan perizinan dari atasan, disampaikan secara leluasa,
akan mempengaruhi kondisi publicnya atas stamenent yang dilontarkan humas
tersebut.
Jika
didasarkan oleh teori boundary spanning dan teori sistem, fungsi humas tersebut
berfungsi, karena dalam teory boundary spanning public relations sebagai gate
keeper antara public dan perusahaan, dimana satu kaki harus berada di public
dan satu kaki berada di perusahaan, termasuk juga dalam konsep manajemen
informasi. Dan menilik teori sistem, sikap yang diambil juga cukup tepat karena
dia memperhitungkan apakah statement tersebut baik jika di langsung disampaikan
atau tidak, dan dia mengukur dampak jika informasi tersebut disampaikan.
Sehingga dia menarik statement dulu, untuk dimintakan ijin kepada atasan.
3. Studi Kasus: Marmud adalah karyawan PT Makmur Sekali (MS). Marmud dikenal memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja tinggib dan kreatif. Dia sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan produk karena kemampuannya menawarkan produk dan mencari konsumen. Tetapi, di sisi lain, Marmud dikenal juga sebagai trouble maker. Dia sering berulah, seperti sering membolos, sering bertengkar dengan rekan kerja, lebih suka bekerja sendiri daripada dengan tim. Tentu saja beberapa rekan kerja tidak menyukainya.
Tugas Mahasiswa
: Apa yang seharusnya dilakukan
oleh manajer MS menghadapi kasus ini?
Pembahasan
: Dalam menghadapi studi kasus nomor 3, saya akan menganalisis dari dengan
menggunakan teori motivasi. Kriyantono (2014, hal: 245) menjelaskan motivasi
secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan tertentu, yang mana dalam studi kasus tersebut
diharapkan dengan memahami teori motivasi ini, public relations dapat membenahi
perilaku marmud untuk tidak berulah. McGregor (1967) dalam Kriyantono (2014,
hal:246) mengenalkan dua macam teori tentang motivasi yang mempengaruhi
manajerial seorang manager, yaitu teori X dan Y. Teori X menjelaskan upaya manajemen
karyawan dengan memotivasi mereka dengan kekuatan fisik dan kekuasaan.
Namun
sebaliknya dengan teori X, teori Y mengasumsikan bahwa individu secara alami
mempunyai keinginan dan kebutuhan, peran manajer lebih untuk mendorong dan
menyediakan peluang agar kebutuhan dan keinginan itu dapat terpenuhi sebagai
salah satu cara untuk memotivasi karyawan, bukan melalui paksaan, kekuatan
fisik dan kekuasaan. Dengan memahami kebutuhan karyawan (sebagai motivator
internal bagi karyawan), maka seorang manajer dapat merumuskan cara-cara untuk memberikan
motivasi (motivator eksternal bagi karyawan) yang efektif agar prestasi kerja
bisa tetap terjaga. Melalui penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa yang perlu
dilakukan oleh manager public relations PT Makmur Sekali terhadap Mahmud adalah
pemberian motivasi, yang didasarkan oleh peran manajerial manager tersebut. Sedangkan
Sebagai pengembangan dari pandangan McGregor, WardL Quaal dan James A. Brown(1976) menyampaikan teori V, dimana secara garis
besar, teori ini memandang proses manajerial sebagai proses relasi dua arah.
Proses ini terjadi bila tujuan dari manajer diarahkan untuk dan dieksekusi
dalam tindakan karyawan dimana tindakan karyawan dalam konteks studi kasus
tersebut adalah perilaku badrul yang suka mengacau. Manajer maupun karyawan mempunyai
peran yang sama-sama penting dalam proses manajerial. Dalam pembahasan tersebut
perlu adanya pemahaman manajerial terhadap karyawan, dan perlunya pemahaman
karyawan terhadap manager terlebih terhadap kebutuhan operasional perusahaan.
Teori motivasi di atas terutama jika merujuk pada teori Y, memberikan informasi bahwa karyawan memiliki kebutuhan yang bersifat universal. Penjelasan lebih jauh berdasar teori motivasi, Kriyantono (2014, hal:252-254) menjelaskan tugas public relations selanjutnya yang pertama memahami apakah kebutuhan itu telah terpenuhi atau belum, seberapa besar terpenuhinya, kondisi apa saja yang menjadi kendala pemenuhan kebutuhan tersebut. Kedua, public relations menyampaikan kebutuhan karyawanitu kepada manajemen yang mana dalam hal ini berfungsi sebagai konsultan (expert prescriber) yang bertugas memberikan ide dan masukan-masukan kepada manajemen tentang cara meningkatkan motivasi karyawan, menyampaikan alasan mengapa penting sekaligus memberi beberapa pilihan strategi dan implementasinya Ketiga, merencanakan program komunikasi dalam rangka meningkatan motivasi kerja karyawan. Program diskusi bulanan, social meeting antara manajemen dan karyawan, pemilihan karyawan terbaik dengan iming-iming hadiah, dan lain sebagainya. Program-program tersebut ditujukan untuk bisa memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, serta aktualisasi diri para karyawan karena mereka merasa diajak dalam proses pencapaian tujuan organisasi. Public relations pun secara terbuka tetap berkomunikasi dan menyampaikan informasi kepada karyawan bahwa manajemen tetap komitmen memenuhi kebutuhan karyawan walau secara bertahap, dan juga memberikan informasi tentang kendala yang dihadapi organisasi, untuk memberikan pemahaman kepada kedua belah pihak jika kita merujuk pada teori V. Keempat, mendorong iklim komunikasi organisasi yang kondusif. Dalam konteks komunikasi sebagai salah satu faktor kesehatan yang bisa membuat kepuasan akan lingkungan kerja, perlu diciptakan iklim yang terbuka, yang mendukung kreativitas kerja dan saling percaya di antara anggota organisasi.
“Para
manajer yang berpegang pada teori x akan menganggap karyawan sebagai suatu atat
produksi, karyawan dimotivasi oleh
ancaman hukuman atau ketakutan tidak tercukupi kebutuhannya akan uang dan rasa
aman. Manajer akan mengawasi karyawan
dengan ketat, membuat dan menjalankan
aturan dengan keras, dan menggunakan
ancaman hukuman sebagai alat untuk memotivasi mereka. (Pace& Faules,
2001: 278)” (Dikutip dari
Kriyantono, 2014 hal : 247).
Teori motivasi di atas terutama jika merujuk pada teori Y, memberikan informasi bahwa karyawan memiliki kebutuhan yang bersifat universal. Penjelasan lebih jauh berdasar teori motivasi, Kriyantono (2014, hal:252-254) menjelaskan tugas public relations selanjutnya yang pertama memahami apakah kebutuhan itu telah terpenuhi atau belum, seberapa besar terpenuhinya, kondisi apa saja yang menjadi kendala pemenuhan kebutuhan tersebut. Kedua, public relations menyampaikan kebutuhan karyawanitu kepada manajemen yang mana dalam hal ini berfungsi sebagai konsultan (expert prescriber) yang bertugas memberikan ide dan masukan-masukan kepada manajemen tentang cara meningkatkan motivasi karyawan, menyampaikan alasan mengapa penting sekaligus memberi beberapa pilihan strategi dan implementasinya Ketiga, merencanakan program komunikasi dalam rangka meningkatan motivasi kerja karyawan. Program diskusi bulanan, social meeting antara manajemen dan karyawan, pemilihan karyawan terbaik dengan iming-iming hadiah, dan lain sebagainya. Program-program tersebut ditujukan untuk bisa memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, serta aktualisasi diri para karyawan karena mereka merasa diajak dalam proses pencapaian tujuan organisasi. Public relations pun secara terbuka tetap berkomunikasi dan menyampaikan informasi kepada karyawan bahwa manajemen tetap komitmen memenuhi kebutuhan karyawan walau secara bertahap, dan juga memberikan informasi tentang kendala yang dihadapi organisasi, untuk memberikan pemahaman kepada kedua belah pihak jika kita merujuk pada teori V. Keempat, mendorong iklim komunikasi organisasi yang kondusif. Dalam konteks komunikasi sebagai salah satu faktor kesehatan yang bisa membuat kepuasan akan lingkungan kerja, perlu diciptakan iklim yang terbuka, yang mendukung kreativitas kerja dan saling percaya di antara anggota organisasi.
4. Studi Kasus :
SDA tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo saat pilpres dan menyatakan secara terbuka mendukung Prabowo. Aksi SDA ini mendapat protes dari sejumlah anggota partai, baik di Dewan pimpinan pusat maupun di daerah. Ada yang menyebut aksi SDA sebagai pendapat pribadi dan tidak mewakili partai.
Saat peresmian Gedung FISIP A dan B menjadi nama dua professor, muncul berbagai reaksi, baik dari mahasiswa, staf maupun dosen. Ada yang mengatakan: “lho darimana ide itu? Siapa yg memprakarsainya? Apa dasarnya? Wah.. Biasanya nama gedung diambil dari mereka yg sdh berpulang, hayo siapa yang berani menempati professor X?...
Tugas Mahasiswa : Menjelaskan secara teoritis, respon terhadap peristiwa di atas? Kesalahannya di mana?
Pembahasan : Untuk menganalisa studi kasus nomor 4, saya akan merujuk pada teori strukturasi. Kriyantono (2014, hal:236) menjelaskan Teori Strukturasi ini digagas oleh Anthony Giddens pada 1984 (Falkheimer, 2007) dan dibangun berdasarkan teori interaksi sosial. Giddens membangun teori ini berdasarkan pandangannya bahwa individu mempunyai kemampuan mengubah struktur sosial, yaitu aturan-aturan yang digunakan menjaga keberlangsungan kelompok atau organisasi. Menurut Giddens, individu bebas dalam memilih perilaku komunikasinya sehingga memengaruhi struktur tertentu. Struktur-struktur dalam sistem sosial seperti norma-norma kelompok, jaringan komunikasi,institusi sosial, ataupun aturan pergaulan memengaruhi perilaku individu dan perilaku individujuga bisa memengaruhi struktur-struktur itu, misalnya dengan membuat aturan baru. proses memproduksi dan struktur disebut mereproduksi strukturasi. Dengan demikian, komunikasi dalam suatu sistem sosial merupakan hasil produksi perilaku komunikasi individu dan struktur sosial perilaku sosial. Seperti yang dijelaskan pada studi kasus sebelumnya, bahwa terjadi penolakan dari individu, baik dari anggota parta PPP terhadap Surya Dharma Ali, maupun dari pihak dosen, staff, dan mahasiswa kepada pimpinan FISIP mengenai aturan maupun kebijakan yang mereka ambil, itulah point permasalahan disini, adanya ketidaksesuaian individu terhadap pihak atasan, dalam konteks tersebut individu mempunya kekuatan untuk merubah struktur dalam hal tersebut regulasi atau kebijakan yang diambil, kekuatan tersebut salah satunya diaplikasikan melalui proses komunikasi. Karena organisasi bersifat dinamis, struktur di dalam organisasi bukanlah sesuatu yang permanen. Struktur mesti dievaluasi dimana dari hasil evaluasi ini, memungkinkan adanya perbaikan-perbaikan jika ada masalah yang muncul. Dalam konteks ini, peran komunikasi yaitu sebagai sarana untuk membentuk, menjaga,dan mengubah struktur. organisasi diproduksi dan direproduksi oleh anggota organisasi melalui media komunikasi. Seperti disebut di atas, proses membentuk, menjaga, dan mengubah struktur inilah yang disebut strukturasi (structuration). Dalam konteks ini Manajemen dan karyawan dianggap memiliki kemampuan menjalani perilaku komunikasi masing-masing untuk menciptakan dan mengubah aturan dalam interaksi mereka struktur bisa atau bahkan harus dievaluasi.
Dalam
konteks teori struktur ini, Kriyantono (2014) menjelaskan bahwa proses public
relations sebagai suatu proses komunikasi yang dinamis dimaknai bukan hanya
dilakukan oleh praktisi public relations, melainkan oleh semua anggota
organisasi. Artinya, bahwa proses public relations dipandang sebagai proses
yang bisa dilakukan oleh semua level di dalam organisasi bukan fungsi top
manajemen saja yang dalam hal ini manager. Tujuannya untuk memberikan peluang
anggota organisasi mengkonstruksi realitas sosial sehingga menciptakan
pengertian bersama (shared meaning). Peran praktisi public relations yaitu sebagai
penggiri dimana mereka mengakomodasi dan mengarahkan proses strukturasi agar
tidak melenceng dari tujuan organisasi. Teori strukturasi memandang praktisi
public relations sebagai kekuatan komu nikasi yang melayani terjadinya
reproduksi dan/atau transformasi suatu ideologi(struktur) dominan dari suatu
organisasi. Jadi, public relations bukan hanya bertugas mengadaptasikan
ideologi itu kepada publiknya (Falkheimer, 2007) dalam Kriyantono (2014, hal:
243). Proses mengarahkan strukturasi ini tidak dimaksudkan untuk membatasi
gerak anggota organisasi tetapi untuk mencapai keseimbangan kerja. Tentu, melalui
proses strukturasi yang dialogis dapat dihindarkan persepsi negatif yang tidak
diharapkan, misalnya manajemen dipersepsi tidak terbuka atau dipersepsi
otoriter. Dalam konteks studi kasus tersebut, mereka melakukan penolakan
ditujukan untuk mengindari persepsi negatif dari masyarakat dan tentunya pada
akhirnya persepsi positif bisa menciptakan iklim organisasi yang nyaman dan
kondusif.
5. Studi
Kasus : PT
Hidup Sejahtera (HS) adalah perusahaan dengan produk asuransi jiwa. Perusahaan
ini adalah perusahaan besar. Tetapi, ternyata kalah dengan perusahaan Besar
Sekali (BS) yang berada di sebelahnya. BS bergerak di bidang jasa catering. BS
sering mendapat liputan media.
Tugas Mahasiswa
: Apa yg hrs dilakukan HS?
Pembahasan :
Untuk menyelesaikan studi kasus nomor 5 saya akan merujuk pada dua teori yaitu
teori agenda setting dan teori stakeholder. Jika saya amati pada bagaimana
perkembangan bisnis jasa katering BS, hal tersebut karena jasa katering BS
cukup mendapat liputan dari media. Jika merujuk pada teori agenda setting,
Kriyantono (2014, hal:327) menjelaskan bahwa Agenda Setting adalah fungsi media
yang memiliki kekuatan menyeleksi objek yang diberikan, sehingga memengaruhi
apa yang dipikirkan (what to think)
dan menyeleksi jenis informasi atau fram dari objek yang diberitakan itu
sehingga memengaruhi bagaimana cara publik memikirkan objek itu (how to think). Public akan menganggap
isu yang sering dimunculkan di media massa sebagai isu yang perlu mendapat
perhatian. Sehingga dapat dipahami bahwa media massa memiliki kuasa yang cukup
besar untuk membentuk dan memengaruhi opini public, karena kemampuannya dalam
transmisi dan menggandakan pesan secara cepat, simultan, dan dapat menjangkau
khalayak yang besar (Kriyantono, 2014). Sehingga dalam hal ini penyediaan
informasi dari public relation PT Hidup Sejahtera (HS) sangatlah penting. Media
memiliki keterbatasan sumber daya dalam penyediaan informasi yang terjadi di
sekitar, sehingga dalam konteks ini praktisi public relations yang dalam
konteks ini dari PT Hidup Sejahtera (HS) harus secara proaktif dalam proses
penyediaan informasi yang didesain mempromosikan dan mempresentasikan
organisasi maupun produknya agar dimuat di media dengan pembentukan image yang
positif. Proses penyediaan informasi ini melalui press release, news letter, konferensi pers, dan produk komunikasi
lainnya yang memberitakan atau memberikan informasi mengenai kegiatan yang ada
di perusahaan. Proses demikian disebut dengan information subsidies (Kriyantono, 2014 hal. 326). Melalui
penyediaan informasi ini diharapkan terbangun hubungan dengan media yang
harmoni, karena media juga memerlukan public relations sebagai pemasok sumber
informasi. Karenanya praktisi public relations harus dapat memanfaatkan peluang
ini dengan baik, untuk membantu menyebarkan informasi mengenai kegiatan
organisasi. Upaya ini disebut dengan publisitas (Kriyantono, 2014 hal. 329).
Asumsinya adalah semakin sering infromasi tentang organisasi tersebut dimuat di
media, maka semakin besar pula organisasi tersebut mendapat perhatian public.
Sehingga
dalam hal ini, Praktisi public relations harus berfikiran bahwa media massa
merupakan mitra bagi mereka untuk membantu menyebarkan informasi tentang
organisasi, sehingga yang perlu dilakukan selanjutnya adalah public relations
harus membangun hubungan harus membangun hubungan yang baik dengan media massa.
Pembangunan hubungan baik dengan media massa dapat dirujukkan pada teori yang
bernama teori stakeholder. Kriyantono (2014, hal:57) menjelaskan bahwa Teori
stakeholder akan memberikan pemahaman dasar kepada praktisi public relations
untuk dapat memahami bagaimana indvisud, kelompok, dan organisasi eksternal
memengaruhi aktivitas organisai. Teori ini menjelaskan proses pembangunan
relasi yang dilakukan organisasi dengan para aktor di sekitar yang dapat
memengaruhi operasional organisasi, dimana hal tersebut mendorong suatu
organisasi untuk dapat memahami stakeholdernya agara dapat mencapai kondisi
terbaik dalam operasional organisasinya (superior
performance) (Freeman, 1984). Mengapa perusahaan perlu memahami
stakeholdernya? Freeman (1984) dalam Kriyantono (2014, hal:58) menjelaskan
bahwa terjadi peningkatan perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis dimana
perubahan tersebut terjadi pada stakeholder, sehingga teori stakeholder ini
mengingatkan pada public relations perlu memperhatikan semua orang dan kelompok
yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan dari perusahaan
bisnis (take into account all of those
and individuals that can affect, or are affected by, the accomplishment of the
business enterpeise) (Freeman, 1984 : 25). Penjelasan mengenai hal tersebut
berarti perubahan dalam dunia bisnis sangat dipengaruhi oleh kondisi
stakeholder.
DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono,
R. (2014). Teori-teori
Public Relations Perspektif Barat & Lokal: Aplikasi
Penelitian
dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Littlejohn,
S.W & Foss, K.A (2011). Theories
of Human Communication (10th ed). Illinois:
Waveland
Press, Inc.
Komentar
Posting Komentar