ISU, KRISIS, DAN RISIKO PUBLIC RELATIONS ANALISIS KASUS BANK CENTURY DALAM PUBLIC RELATIONS

Kasus Bank Century pertama kali muncul ke khalayak sekitaran tahun 2008 yang mana pada tanggal 3 November 2008 ketika Bank Century dilaporkan mengalami masalah likuiditas yang mana penyebabnya adalah manajemen yang bobrok (Fajrian, 2018, dikutip di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180411121840-81-289991/kronologi-kasus-bank-century-seret-nama-boediono) yang membuatnya ditetapkan menjadi bank gagal berdampak sistemik (https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/05/ng2qzj-mengingat-kembali-awal-mula-kasus-bank-century) dan diambil alih oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) pada tanggal 21 November 2008.
    Awal mula kasus Bank Century ini sebenarnya bermula pada 31 Oktober 2005 ketika Laporan hasil temuan Bank Indonesia terhadap posisi CAR Century yakni berada pada posisi negatif 132,5 persen seharusnya menetapkan Century dalam pengawasan khusus. Namun, Bank Indonesia hanya memberi kategori bank dalam pengawasan intensif. Pada sekitaran tahun 2005-2007 Ditemukannya pelanggaran yang dilakukan Century dalam proses operasional transaksi keuangannya yang membuat Seharusnya Century membayar denda sebesar Rp 22 Miliar, tapi Bank Indonesia memberi keringanan menjadi Rp 11 Miliar. Pada tanggal 5 November 2008 Bank Century ditetapkan sebagai kategori bank dalam pengawasan khusus oleh Bank Indonesia. Lalu pada tanggal 13 November 2008 Bank Century mengalami masalah likuiditas, yang pada akhirnya menyebabkan kepercayaan menghilang karena masyarakat tidak dapat melakukan transaksi perbankan dan muncul isu-isu yang mengganggu stabilitas sektor perbankan. Pada saat itu CAR atau rasio kecukupan modal Bank Century minus 3,53%. Kesulitan likuiditas tersebut berlanjut pada gagalnya kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush. Hal itu menyebabkan Bank Century tidak bisa mengatasi masalah manajemennya, sehingga pada tanggal 21 November 2018 Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik, karena nasabah tidak dapat melakukan transaksi keuangan apapun, lalu diambil alih oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang mana LPS mengambil alih 90 persen lebih saham Bank Century   


    Jika dilihat dari perspektif isu, Chase (1984 : 38) dalam Kriyantono (2015) menjelaskan definisi isu sebagai “an unsettled matter which is ready for decision.” yang mana isu dianggap sebagai permasalahan yang belum terselesaikan dan karenanya perlu keputusan cepat untuk mengatasinya. Kriyantono (2015 : 150) menjelaskan lebih lanjut menurut The Issue Management Council, isu muncul jika terjadi gap atau kesenjangan atau perbedaan antara harapan publik dan kebijakan, operasional, produk atau komitmen organisasi terhadap publiknya. Dalam periode awal mula munculnya kasus century yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat saya katakan bahwa isu muncul pertama kali pada hasil temuan Bank Indonesia terhadap posisi CAR Century yakni berada pada posisi negatif 132,5 persen seharusnya menetapkan Century dalam pengawasan khusus, yang mana terjadi gap ketika Posisi Bank yang berada pada posisi negatif yang diniliai menimbulkan keresahan publik, dan dilakukannya pengkategorian Bank oleh Bank Indonesia. Berlanjut sampai ketika nasabah tidak dapat melakukan transaksi perbankan di Bank Century yang mana saat itu harapan nasabah yang tidak terpenuhi karena tidak dapat terlaksanya proses transaksi karena Bank mengalami masalah likuiditas menjadi indikator bahwa proses tersebut masuk dalam kategori isu yang muncul, Pointnya adalah ketika terjadi kesenjangan antara harapan nasabah dalam hal ini publik untuk melaksanakan transaksi dengan operasional perusahan yang tidak bisa mengembalikan dana nasabah karena masalah likuiditas, sehingga yang telah dijelaskan juga sebelumnya, kepercayaan masyarakat terhadap bank menghilang.
Jika kita analisis dari penjelasan mengenai jenis-jenis isu, berdasarkan
Penjelasan Gaunt and Ollenburger (1995 dalam Kriyantono (2015 : 162) menjelaskan bahwa isu dapat diklasifikasikan dalam dua jenis berdasarkan sumber isu, yaitu :
  1. Isu-isu internal, yaitu isu-isu yang bersumber dari internal organisasi yang mana biasanya hanya diketahui oleh pihak manajemen dan anggota organisasi, seperti penurunan kualitas kerja, isu kesejahtraan pekerja, diskiriminasi pekerja, dan lain sebagainya. Jika menilik kasus century, saya bisa jabarkan terdapat isu internal dalam kasus tersebut yang mana ketia terdapat isu keungan sekaligus operasional yang terjadi di dalamnya perusahaan yakni ketika posisi CAR Century berada pada posisi negatif 132,5 yang lambat laun membuat bank mengalami likuiditasi.
  2. Isu-isu eksternal, yaitu peristiwa-perstiwa yang berkembang di luar organisasi yang berpengaruh langsung atau tidak langsung pada aktivitas organisasi, saya bisa jabarkan terdapat isu eksternal yakni dapat kita lihat pada kronologi kasus Bank Century diatas bahwa ketika kasus terbsebut bergulir mengancap reputasi Bank Century bahkan nasabah bank menarik uangnya dari Bank Century. Selain itu Bank Century menerima bantuan dari Bank Indonesia untuk membantu mengatasi masalah likuiditasnya.

Jika kita kaitkan pada tahap perkembangan isu, akan saya jabarkan dulu mengenai tahapan perkembangannya untuk mendapat pemahaman lebih mendalam. Berdasarkan tahapan isu (issue life-cycle) yang disampaikan Hinswortsh (1990) dan Meng (1992), dikutip di Regesteer dan Larkin (2008:51-57), dalam Kriyantono (2015:165) terdapat 4 tahapan perkembangan isu yakni :
  1. Origin, yang mana pada tahap ini publik sudah merasakan kesenjangan antara harapan dengan performa organsasi. Dalam kasus Bank Century, nasabah tidak terpenuhi harapannya ketika terjadi “error” dalam sistem operasional yang berujung bank mengalami masalah likuiditas yang membuat nasabah tidak dapat melakukan transaksi melalui bank.
  2. Mediation dan amplifaction, yang mana dalam tahap ini isu berkembang karena telah mendapat dukungan publik dan publik mulai mendebatkan isu secara terbuka di ranah publik karena faktor media sebagai faktor dominan. Dalam kasus century, hal tersebut dibuktikan dengan mulai didebatkan kasus ini di media, terbukanya opini publik, dan lain sebagainya
  3. Organization, yang mana dalam tahap ini publik sudah mulai mengorganisasikan diri dan membentuk jaringan-jaringan, ruang publik semakin meluas, dan adanya kekuatan publik untuk dapat mempengaruhi pemerintah. Dalam hal ini, isu terus berkembang di ranah media, yang akhirnya menekan dan mendorong pemerintah akhirnya Bank Indonesia memutuskan untuk memberikan bantuan dana kepada Bank Century
  4. Resolution, yang mana dalam tahap ini sudah ada perubahan kebijakan publik dari pemerintah yang diikuti organisasi. Jika dikaitkan dengan kasus ini, adanya kebijakan ketika Bank Indonesia memberikan kucuran dana pinjaman jangka pendek (FPJP) sebesar Rp 689 miliar dan dana penyertaan modal sebesar Rp 6,782 Triliun.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tanggal 21 November 2018 Bank Century akhirnya dinyatakan sebagai bank gagal. Jika kita kaitkan dengan konsep krisis, Devlin (2007) dalam Kriyantono (2015:196) menjelaskan krisis sebagai “an unstable time for organization, with a distict possibility for an udesirable outcome” yang diartikan sebagai sebuah situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan dampak yang tidak diinginkan. Krisis dapat saya analisis muncul ketika Bank mengalami likuiditas dimana pada point itu berimbas pada keputusan pernyataan terhadap Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam kasus tersebut saat terjadi likuiditas, keadaan menjadi tidak stabil, sampai-sampai nasabah tidak bisa melakukan transaksi perbankan di Bank Century, dimana dalam tahap itu isu terus bermunculan, terjadi gap harapan nasabah kepada bank, yang berakhir dengan pernyataan Bank Century sebagai bank gagal. Sesuai penjelasan Kriyantono (2015:199) bahwa lebih dari satu krisis dimungkinkan muncul karena dalam suatu krisis dapat mengandung banyak isu dan isu-isu ini dapat berubah menjadi krisis. Seperti yang kita pahami bahwa isu muncul pertama kali pada tahun 2005 ketika terdapat Laporan hasil Bank Indonesia terhadap posisi CAR Century yakni berada pada posisi negatif 132,5 persen seharusnya menetapkan Century dalam pengawasan khusus. Yang membuat Bank Indonesia memberi kategori Bank Century dalam pengawasan intensif. Mulai saat itu akumulasi isu terus muncul yang berimbas pada likuiditas yang menjadika bank gagal, yang merupakan turning point krisis terjadi. Krisis dalam kasus ini menemukan babak barunya  ketika Bank Century menerima kucuran dana dari Bank Indonesia sejumlah 6,78 Trilyun, yang berimbas pada tahun 2013 Budi Mulya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan melawan hukum dan penyalah gunaan wewenang terkait FPJP Bank Century (FPJP sebesar 7 miliar merugikan negara). Ditemukan adanya kerancuan dalam laporan keuangan yang digunakan untuk pengajuan “pinjaman dana” yang ditengarai untuk mengatasi masalah keuangan Bank Century pada saat itu. Krisis tidak hanya berhenti sampai situ saja, saat sidang KPK pada tahun 2014 Budi Mulya menyebutkan beberapa nama yang menurutnya ikut terlibat dalam penyalahgunaan wewenang FPJP Bank Century diantaranya Boediono, Miranda, Mantan Pemilik Bank Century Robert Tantular, dan lain sebagainya berlanjut bahkan sampai pada tahun ini dimana pada sekitaran April 2018 Munculnya berita pada media kredibel dari Hongkoh yakni Asia Sentinel yang kembali mengungkap kasus Century dengan melibatkan pemerintahan SBY pada headlines nya. Munculnya somasi partai demokrat yang menganggap adanya black campaign. Bank informasi bermunculan kembali setelah krisis muncul pada tahun 2008, proses tersebut juga diawali oleh munculnya isu-isu baru yang juga berimbas menjadi krisis. Hal teresebut sebenarnya sesuai dengan pernyataan Kriyantono (2015) mengenai karaktersitik krisis, beberapa diantaranya menciptakan ketidakpastian informasi, dan berpontensi menimbulkan konflik. Krisis diperparah dengan terjadinya kekurangan informasi atau sebaliknya informasi yang bereda terlalu banyak, dimana kedua kondisi tersebut menghasilkan akibat yang sama yakni kebingungan dan ketidakpastian (Kriyantono, 2015) yang sesuai dengan kondisi setelah krisis terus berkembang, informasi terus bermunculan bahkan sampai 10 tahun setelahnya. Sedangkan perkembangan informasi yang sampai menyeret nama orang nomor satu pada saat masa Bank Century dinyatakan bank gagal dapat dianalisa bahkan kiris tersebut menimbulkan konflik eksternal dengan pihak di luar perusahaan.
Sedangkan jika kita analisa dari sumber dan jenis krisis, berdasarkan Kriyantono (2015) kasus Bank Century dapat dimasukan dalam kategori krisis Manajemen dan Perilaku Karyawan. Krisis tersebut terjadi karena kelomok manajemen gagal melaksanakan tanggung jawabnya (Kriyantono, 2015) yang mana dalam kasus century perusahaan gagal dalam hal manajemen strategi perbankan yang membuat mereka pada tahun 2008 mengalamai likuiditasi yang sebutkan oleh CNN Indonesia manajemen yang “bobrok” adalah penyebabnya.
Sedangkan jika kita analisis dari segi manajemen risiko, yang mana salah satu pendapat yang menjelaskan tentang manajemen risiko seperti pendapat Harrison (2008) dalam Kriyantono (2015:176) menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah proses untuk mengurangi risiko yang lebih besar yang disebabkan tidak berfungsinga aktivitas organisasi. Sedangkan, menurut Devlin (2007) dalam Kriyantono (2015:176) menjelaskan bahwa manajemn risiko sama dengan analisis risiko dari performa organisasi yang berpotensi berdampak negatif. Jika kita telaah kasus century, saya belum banyak menemukan dari pihak Bank Century itu sendiri yang melakukan manajemen risiko, terlebih ketika Bank Century dilaporkan mengalami masalah likuiditas dikarenakan manajemennya yang bobrok. Pihak lain lebih banyak yang memberika aksi strategis kepada Bank Century itu sendiri. Seperti misalnya Bank Indonesia yang memberi kategori bank dalam pengawasan intensif sampai pemeberian kucurang dana bantuan kepada Bank Century dengan alasan penjagaan kestabilan keuangan negara. Namum hal tersebut merupakan langkah baik yang diambil oleh Bank Indonesia dari ketika memberikan status pengawasan intensif kepada Bank Century bahkan beberapa tahun (tepatnya pada 2005) sebelum Century benar-benar dalam keadaan “bobrok”, karena berdasarkan penjelasan Kriyantono (2015:177) dimana manajemen risiko (termasuk komunikasi risiko) dilakukan untuk mengantisippasi peristiwa yang kemungkinan mengandung hasil negatif di masa mendatang.



















DAFTAR PUSTAKA

Fajrian. (2018, April 11). Kronologi kasus Bank Century serat nama Boediono. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180411121840-81-289991/kronologi-kasus-bank-century-seret-nama-boediono.
Faqih, Mansyur. (2014, Desember 5). Mengingat kembali awal mula kasus Bank Century. Republika.co.id. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/05/ng2qzj-mengingat-kembali-awal-mula-kasus-bank-century.
Kriyantono, Rachmat. (2015). Public relations, issue, dan crisis management: pendekatan critical public relations, etnografi kritis dan kualitatif. Jakarta: Prenada Medai

Komentar

Postingan Populer